Thursday, April 21, 2011

Kopi Hitam dan Segelas Susu

“Cemburu”, salah satu bumbu-bumbu di kehidupan ini yang pasti pernah dihadapi setiap manusia. Sebuah reaksi kimia dimana seseorang merasa kesal, uring-uringan, geregetan, dan berbagai rasa yang tak karuan bercampur seperti  rasa STMJ Oplosan yang entah apa campuran tambahannya. Rasa Cemburu adalah bagian tak terpisahkan dari Hidup saya yang selama ini selalu menghantui bagaikan virus HIV yang pelan-pelan mematikan. Terlalu seram mungkin saya menggambarkannya,  beberapa orang memang dapat dengan cepat pulih dan mengalihkan perasaan ini ke hal lainnya namun beberapa orang tidak semudah itu, dan bahkan rasa cemburu yang ditanam sejak lama menjadi beban yang sangat berat untuk dipikul. Dulu saya adalah orang yang kedua ini, rasa cemburu yang dipendam terus-menerus dan lampau waktu menjadi beban mental yang sangat menyiksa. Sampai akhirnya saat dimana saya mulai bisa mengendalikannya. Nanti saya ceritakan bagaimana itu bisa terjadi.


“Cemburu”, orang awam sering mengaitkannya dengan masalah Percintaan, seperti cemburu dengan Pria/wanita yang dekat dengan orang yang kita sukai atau cemburu melihat pacar kita dengan pria/wanita lain meskipun ia adalah sahabatnya. Beberapa kasus pada orang yang super Pencemburu bahkan cemburu pada hal-hal yang tidak lazim seperti Cemburu karena sang pacar lebih memilih melakukan hobinya atau cemburu pada orang tua pacarnya sendiri karena menganggap pacarnya lebih sayang pada orang tuanya, dan masih banyak lagi contoh ekstrimnya.

Namun yang saya maksud disini adalah cemburu bukan hanya melulu di percintaan, bahkan saya jarang cemburu dalam hal ini, tapi cemburu yang paling menyiksa batin saya adalah kecemburuan sosial. Ya, orang yang baru mengenal saya mungkin tidak berpendapat demikian, tapi begitulah faktanya yang saya rasakan, mungkin bakat saya memendam perasaan sudah bisa dibilang Expert. Diam adalah Kunci Emas yang selalu saya pegang teguh selama ini sebelum akhirnya saya bisa merubah mindset tersebut. Awal kecemburuan ini muncul ketika saya dan keluarga saya merasa menjadi orang paling gagal di keluarga kami karena tidak bisa mengimbangi kesuksesan anggota kelurga lainnya. Namun jangan berpikiran buruk dahulu, kami adalah keluarga yang sangat menghargai suatu kesuksesan sebagai hasil jerih payah dan jangan samakan ini dengan rasa “IRI” karena iri bagi kami hanya akan mendatangkan perpecahan.

Dahulu kami cukup bahagia saat Ayah saya masih bekerja sebagai pegawai di sebuah perusahaan -swasta yang cukup terkenal produknya di supermarket-supermarket Bali dan Jawa. Saat itu segalanya terasa begitu mudah, segala kemewahan saat itu sempat saya rasakan meskipun tidak seberapa. Tapi bagi kami itu adalah saat paling membahagiakan. Sampai tiba dimana masalah demi masalah datang meneror keluarga kami. Berawal dari mutasi kerja ayah saya ke salah satu cabang perusahaan tersebut di  kampung halaman Ayah saya, dan seketika Saya, Adik, dan Ibu saya harus berada jauh dengan ayah saya. Sekian lama berpisah tempat tinggal dengan Ayah, maslah pun berdatangan. Hampir setiap Ayah saya mengunjungi kami pertengkaran selalu saja terjadi diantara Orang Tua saya. Saat itu saya hanya anak ingusan berumur 6 tahun yang orang kira  tidak tau apa-apa, namun sebenarnya saya mengerti dan kejadian yang sangat mengusik mental itu masih terekam di ingatan saya sampai saat ini. Masalahnya saat itu hanya satu, yaitu masalah Utang. Ya ternyata selama ini kami mendapat kemewahan dari Utang Kartu Kredit yang diam-diam disimpan sendiri oleh ayah saya.  Orang yang paling kecewa pastilah Ibu saya, dan mulai saat itulah keluarga kami paling anti dengan yang namanya berhutang dan Kartu Kredit. Mereka adalah iblis yang menjelma dalam bentuk “kemudahan” di jaman Modern ini. Hampir setahun tekanan mental ini kami rasakan, bahkan tangisan Ibu saya setiap hari dan perceraian menjadi mimpi paling buruk yang selalu membayangi. Untungnya Tuhan berkehendak lain, kami sekeluarga memutuskan pindah ke tempat Ayah saya bekerja di kampung halaman ayah saya. Karena memang kami sudah tidak mampu lagi hidup di kota yang sudah tidak bersahabat lagi.

Masih dalam suasana ketidak harmonisan di dalam keluarga saya yang bertahan sampai saya berumur 15 tahun, kabar buruk lagi-lagi tidak bosan menghampiri kami. Ayah saya harus berhenti bekerja karena pabrik dimana ayah saya bekerja mengalami kebangkrutan. Kami sekeluarga sangat terpukul, benar-benar seperti meneguk segelas racun yang melumpuhkan pikiran dan jiwa. Tak bisa saya ungkapkan dengan kata-kata bagaimana rasanya dan saya tidak akan bercerita lebih banyak lagi tentang mimpi buruk yang pernah saya alami. Itu hanya sebagian kecil dari cerita hidup keluarga saya yang gelap.

Saat dimana kami dibawah, benar-benar dibawah! Timbulah rasa penyesalan masa lalu dan cemburu pada orang lain dan terutama pada keluarga besar dari pihak Ibu saya. Mereka adalah orang-orang sukses. Entah seberapa malunya Ibu saya, malu pada diri-sendiri tentunya. Sebagai anak yang memiliki sederet prestasi lebih dari anggota keluarga lainnya, bisa dibilang ia telah kalah, dan faktanya takdir memang tidak selalu dapat diprediksi. Saya pun sangat segan bertemu paman-paman saya yang sukses itu, entah perasaan apa itu, tapi rasa terintimidasi oleh tekanan mental yang sebenarnya berasal dari pikiran negatif dalam diri sendiri yang terlalu kuat lah yang memperburuk segalanya. Mereka bisa memperoleh segalanya yang mungkin saat itu tidak
akan pernah kami miliki pikirku.

Tak ada bedanya pula di lingkungan pergaulan saya, saya sering merasa cemburu dengan teman-teman sebaya saya yang bisa melakukan ini itu, keluarga yang harmonis, kehidupan yang layak. Ah banyak sekali rasa itu yang berkumpul dalam diri saya, mungkin hanya tinggal 5% saat itu pikiran positif saya yang masih bertahan. Cemburu Cemburu Cemburu itu lah yang sangat mendominasi saya saat itu.

Namun ternyata kembali Tuhan memberi pencerahan pada kami, khususnya saya. Semenjak orang tua saya menjadi Pemangku di Pura Dalem desa tempat kami tinggal, kehidupan kami berangsur-angsur membaik, baik secara rohani maupun jasmani, secara finansial pun kami bersyukur cukup untuk makan dan kebutuhan sehari hari, masalah uang sekolah, saya sangat berterima kasih kepada bapak Bupati kami “Winasa” karena program beliau kami bisa bersekolah tanpa biaya dalam tanda kutip.

Dari 5% berangsur angsur meningkat menjadi 20%, 30%, 50%, dan teruuus meningkat sehingga pikiran positif mulai mendominasi. Mungkin selama ini ia sedang menunggu suatu pemicu yang dapat mengaktifkannya. Kehidupan kami pun mulai harmonis kembali, lagu Koes Plus yang liriknya “Hati Senang walau pun tak punya uang... ooooo” menjadi soundtrack pada kisah ini. Motivasi demi motivasi menjejal, mimpi-mimpi yang dulu terkubur kini mulai tumbuh. Sosok yang paling berjasa adalah Ibu. Entah apa jadinya jika Ibu saya juga tetap meratapi nasib buruk yang menimpa kami. Mungkin kami sudah terpecah belah dan mungkin saja segalanya benar-benar hancur. Ia adalah sosok pejuang sebenarnya, Ialah Kartini bagi saya yang menunjukan pada anak-anaknya bahwa selalu akan terbit terang setelah Gelap. Ia adalah alasan ku tetap berjuang sampai saat ini. Ia adalah segalanya, bahkan tak ada kata-kata pujian lainnya yang bisa saya ucapkan untuk meninggikan sosok dan keberadaan beliau dimata saya.

Kisah yang saya alami Ini ibarat Kopi Hitam dan segelas susu yang dicampur sedikit demi sedikit. Masa kelam saya ibarat secangkir kopi hitam yang pekat dan pahit, dan susu sebagai pemanisnya yang sedikit-demi sedikit dicampur dengan kopi hitam itu sehingga kepekatannya pun semakin berkurang dan berkurang yang menggambarkan fase kebangkitan saya yang sedikit demi sedikit mulai menemukan arahnya.

Cemburu adalah masa lalu, meskipun rasa itu akan tetap ada. Tapi kini  ia akan menjadi motivasi bagi saya untuk berjuang terus sampai saya bisa membahagaikan orang tua saya dan mengangkat derajat keluarga saya dimata Keluarga besar kami. Tidak ada yang tidak mungkin selama kita berusaha sepenuh hati. Pelajaran terpenting dalam hidup saya adalah bahwa “Sepekat apapun masa lalu yang dihadapai, selama kita bisa mempertahankan harapan dan berusaha membuka jalan,maka  pastilah  titik terang akan kita temukan dan akan memandu kita keluar dari kepekatan itu”. Pengalaman selalu menjadi Guru terbaik dan Tuhan adalah Maha Tahu dan Maha Pengasih karena Beliau tidak akan memberikan cobaan yang terlalu berat pada umatnya. Setidaknya itu adalah keyakinan dalam diri saya yang akan terus membawa saya berjuang  meraih Masa Depan seberapa berat pun rintangan yang menghadang didepan saya kelak.

kopi hitam san segelas susu :)

3 comments:

  1. hmm entah kenapa saya mengalami cerita yang benang merahnya sama, hanya setting n pemeran yang beda...

    ReplyDelete
  2. @mita: thank you mita :)

    @dewo: pokoknya keep spirit aj bro, semoga bisa memperoleh hasil yang terbaik suatu saat nanti :)

    ReplyDelete